“Aku suka kamu.” Salsha
menahan langkahnya saat mendengar perkataan itu. Dia berusaha menajamkan
pendengarannya. Dua sosok yang berbeda terlihat sedang berhadapan. Salsha yang
dasarnya selalu pengen tahu mendekat dan bersembunyi di balik pohon.
“Terus ? Aku tidak suka
kamu.”
“Memangnya aku kurang
apa ? Kurang cantik ? Kurang kaya ?”
Tak ada jawaban. Salsha
melihat dari balik pohon. Dia tidak mengenali dua orang itu sampai salah
satunya membalikkan badan tepat menghadap Salsha. Dan saat itulah dia menahan
nafas.
“Karena…” Deni
memandang langit. “Aku tidak mau menerima barang bekas dan aku juga tidak mau
menjadi barang bekas.”
“Apa maksudmu ? Aku
barang bekas ? Jangan asal ngomong,” Juniel mulai marah.
“Terserah kamu mau
mengartikannya apa.”
Salsha menghembuskan
nafas yang sempat ia tahan. Kalimat terakhir Deni sangat mengejutkan. Bagaimana
bisa dia menyebut Juniel barang bekas ? Salsha terduduk sambil memikirkan
kalimat itu. Juniel memang terkenal sering gonta-ganti pacar, tapi tidak
sebegitunya juga kan ? Salsha merasa sebagian hatinya setuju dengan kalimat
itu. Tapi sebagai perempuan, Salsha juga tidak terima jika dikatakan begitu.
“Hei…”
Salsha terjatuh untuk
kedua kalinya. Deni sedang berdiri di hadapannya dengan senyum lebar miliknya.
“Dengerin apa aja ?”
Deni mengulurkan tangannya.
Salsha hanya bisa
tersenyum malu. Ia memandang Deni lalu menyambut tangannya. “Maaf.”
“Kalau mau dengerin
orang ngomong, langsung aja ngelihat, ndak perlu sembunyi di sini,” ujar Deni
ringan seakan itu boleh dilakukan tadi.
“Jangan gitu dong.”
Salsha jadi merasa bersalah. “Maaf deh.”
“Bukan apa-apa.” Deni
melihat jam tangannya sambil bergumam tak jelas. “Sebaiknya aku pergi.”
Salsha tidak tahu, ini
namanya takdir, kebetulan, keberuntungan, atau kesialan. Hampir setiap hari dia
bertemu Deni dan itu bukanlah pertemuan yangmenyenangkan. Hampir setiap mereka,
Deni selalu muncul dengan cara yang mengejutkan Salsha, dan kalau sudah begini,
Salsha bakal jatuh.
Bukan hanya cara
pertemuannya saja yang membuat Salsha selalu was-was. Tapi sejak hari itu, dia
tidak pernah berhenti memikirkan perkataan Deni. Timbul satu penilaian lagi
dalam diri Salsha, Deni ternyata memiliki darkside yang cukup menakutkan
sekaligus cool. Salsha yang notabene belum pacaran jadi mendapat sedikit
pencerahan.
Ya.. setiap hari Salsha
selalu bertemu dengannya dan satu hal lagi yang salsha benci saat mereka
bertemu adalah panggilan adik manis untuknya. Berkali-kali Salsha menegurnya,
bahkan memarahinya tapi tetap saja Deni tak berubah. Dia berdalih kalau
panggilan itu sangat cocok dengan Salsha.
“Sudahlah, terima saja
kok susah. Panggilan itu sudah paling manis lho. Jangan marah ya adik manis,”
kata Deni tenang sambil mengacak-acak kerudung Salsha.
“Jangan pakai aksi
ngeberantain kerudungku juga dong,” sahut salsha kesal. Tangannya sibuk
merapikan kerudungnya yang berantakan.
Namun akhir-akhir ini,
Salsha sudah jarang melihatnya. Kalaupun melihat, Deni pasti langsung
menghindar. Deni kelihatan sering melamun sambil memandang pohon besar di
belakang sekolah. Salsha tak bisa menebak apa yang tersembunyi di balik mata
teduhnya. Antara putus asa dan sedih.
Salsha tidak ingin
memikirkannya, tapi selalu ia merasa resah. Pernah tercetus di benaknya, apakah
dia khawatir ? Ya, tidak salah kan kita khawatir saat melihat teman kita sedih.
“Boleh kita bicara
sebentar ?” gelagat Deni hari ini sangat
berbeda. Dia lebih pendiam, lebih dingin dan tidak ada senyum seperti biasa.
“Ya ?” Salsha yang baru
pulang sekolah sedikit bingung dan aneh melihat Deni saat ini.
“Ikut aku.”
Salsha menaikkan satu
alisnya, bingung mau ngapain, akhirnya dia menuruti perintah Deni. Siapa tahu
ini penting.
Salsha mengikuti Deni
ke sebuah tempat. Tempat yang mengingatkannya akan sesuatu. Sebuah pohon besar
dan rimbun menaungi mereka dari terpaan sinar matahari yang panas. Salsha terus
mengingat sementara Deni sudah duduk di atas rerumputan.
“Bukankah ini tempat
pertama kita bertemu ?”
“Ya. Tempat kau
memata-mataiku,” jawab Deni hangat, seperti seseorang yang sama sekali berbeda
dari yang tadi. Mendengar nada suara Deni yang melunak, Salsha menjadi nyaman.
Dia ikut duduk di sampingnya.
“Jadi, ngapain kita di
sini ?”
“Aku pengen ngasih kamu
sesuatu.” Deni merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sebuah kalung berbandul
hati kayu yang terukir sesuatu di situ. “Ini untuk kamu. Tolong dijaga ya.”
Salsha takjub memandang
kalung itu. “AM ? Apaan tuh ?” tanyanya saat melihat ukiran tulisan di bandul
kalung.
“Jangan dilihat aja
dong. Nih ambil.” Deni menggenggamkan kalung itu ke tangan Salsha. Lalu
melanjutkan,
“AM itu singkatan dari Adik Manis. Cantik kan ?”
“Ya cantik,” ujar
Salsha masih takjub dengan kalung yang ada di genggamannya. Tetapi raut
wajahnya langsung berubah drastis. “Apa ? Adik Manis ? Kenapa harus nama itu
sih ?
“Jadi ndak mau nih ?”
“Eh.. Mau.. Mau..
Maksudku bukan begitu.”
“Aku akan pergi ke
Korea.”
“Korea ? Ngapain ? Mau
jadi artis ya ? Boyband macam EXO tuh ?” Salsha tersenyum lucu membayangkan
jika semua itu terjadi.
Deni juga ikut
tersenyum mendengarnya, “Jika kamu berpikir begitu, anggap saja begitu.”
Sejenak mereka terdiam,
sibuk dengan pikiran masing-masing. Angin sore berhembus lembut. Tiba-tiba
keheningan itu dipecah oleh suara Deni. “Aku suka kamu.”
“Apa ?”
Salsha merasa
pendengarannya sudah terganggu. Apakah Deni bilang kalau dia suka padanya ?
Apakah dia sedang berkhayal ?
“Kamu tidak sedang
berkhayal. Itulah yang kau dengar.”
“Tapi…” Salsha
memikirkan kata-kata yang sesuai. “Bukankah kamu ndak mau pacaran ?”
“Siapa bilang kita
pacaran ? Aku hanya mengungkapkan apa yang kupikir selama ini. Lagipula
kemungkinan besar kita tidak akan…” Deni memberi jeda, lalu berkata dengan
pelan. “Bertemu lagi.”
***
Salsha sama sekali
tidak mendengarkan penjelasan dosennya. Dia melamun lagi. Teman-temannya sudah
hapal betul kebiasaan Salsha saat dia melamun. Posisi khas, satu tangan menahan
dagu, satu tangannya lagi asyik mencoret-coret kertas tidak jelas. Sedangkan
pandangannya pasti ke arah luar jendela.
“Salsha, coba jelaskan
yang dimaksud karies gigi ?”
Salsha tidak menjawab
dan masih asyik melamun. Rupanya sang dosen tahu kebiasaan mahasiswinya satu
ini. Beliau kembali bertanya sambil tangannya mengetuk-ngetuk meja Salsha.
“Salsha.. Salsha.. melamun lagi kamu.”
Salsha langsung
terkejut mendengar teguran dosennya. “Maaf bu,” katanya dengan kepala menunduk.
Ia masih memikirkan lamunanya. Digenggamnya kalung yang menggantung anggun di
lehernya. Kata-kata terakhir yang diucapkan sang pemberi kalung belum sekalipun
ia lupakan. “Aku percaya jika kita akan betemu lagi, entah itu kapan. Tapi aku
tetap percaya, Deni,” bisiknya.